KONTRAS Sumatera Utara kembali mengkritik Walikota Medan, Bobby Nasution yang meminta pihak kepolisian melakukan tindakan tembak mati terhadap pelaku begal. Bobby diminta menginstropeksi terkait banyaknya kasus-kasus kejahatan marak terjadi di ibu kota provinsi Sumatera Utara ini.
“Wali Kota Medan Bobby Nasution seharusnya melihat hulu dari permasalahan begal ini seperti apa. Sementara dari hilir tidak terantisipasi sama sekali dan itu menjadi problem,” kata Koordinator Kontras Sumut, Rahmat Muhammad kepada wartawan, Kamis (13/7/2023).
Menurut Rahmat bahwa tindakan tembak mati pelaku begal tidak menyelesaikan permasalahan itu. Bahkan, KontraS mengatakan Bobby Nasution harus intropeksi diri karena Medan saat ini tidak kondusif.
Baca juga: Tumpas Geng Motor dan Begal, TNI AD Sebar Personil di Wilayah Kota Medan
“Setidaknya walikota introspeksi terlebih dahulu terkait banyaknya kasus-kasus kejahatan tindak pidana di Medan. Ya, ia bilang saja minta maaf kepada publik bahwasanya keadaan Kota Medan saat ini tidak kondusif dan tidak aman,” ucapnya.
Rahmat mengungkapkan, pemerintahan sekaligus juga kepolisian gagal dalam upaya preventif mencegah terjadinya kejahatan di Kota Medan.
“Bukan malah sebaliknya menindak tegas para pelaku dengan tembakan mati,” ujarnya.
Tembak Mati Begal Tuai Pro dan Kontra
Sebelumnya, pernyataan Wali Kota Medan Bobby Nasution terkait begal yang meresahkan masyarakat di Kota Medan harus ditindak tegas bahkan ditembak mati. Hal tersebut menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Terkait hal tersebut, KontraS mengkritik dan mengecam pernyataan Wali Kota Medan Bobby Nasution yang meminta polisi untuk menembak mati pelaku begal. KontraS menilai pernyataan itu arogan dan sewenang-wenang.
“Kami sangat memahami, bahwa pelaku begal telah meresahkan dan merugikan masyarakat kota Medan. Namun pernyataan Wali Kota Medan merupakan pernyataan abai terhadap HAM dan seolah-olah mendukung Kepolisian untuk melakukan kesewenang-wenangan,” kata Badan Pekerja KontraS, Tioria Pretty dalam keterangan tertulinya pada Senin (10/7/2023) lalu.
Ketentuan itu mengatur bahwa penggunaan kekuatan dalam pelaksanaan tugas Kepolisian harus berdasarkan prinsip legalitas, proporsionalitas, preventif dan masuk akal (reasonable).
“Perkap mengatur bahwa anggota Polri dalam pelaksanaan tugasnya harus mempertimbangkan penggunaan kekuatan. Tidak menjadikan penggunaan senjata api sebagai mekanisme utama,” ujarnya.
Selain itu, Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan bahwa anggota Polri harus tunduk pada prinsip dasar perlindungan HAM dan patuh pada instrumen-instrumen HAM internasional. (***)