INCEK.ID – Pulau Nias menjadi daya tarik tersendiri untuk dikunjungi wisatawan. Tidak hanya laut dan pantai yang eksotis, Nias menyimpan segudang cerita sejarah desa-desa megalitikum. Meja batu, arca batu, hingga lempengan batu yang menutupi areal desa yang dapat kita temui di Desa Orahili Fau, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan.
Bidikan fotografer Imaji Pertiwi, Ferdy Siregar mengabadikan daya tarik desa yang berada di antara perbukitan dan jurang ini.
Fotografer senior asal Kota Medan tersebut, banyak mengisahkan selama perjalan ke Nias, terutama di desa Orahili Fau yang berada di bawah Desa Bawomataluo ini. Banyak rumah-rumah warga dan tradisi yang berkaitan erat dengan bebatuan.
Sejarah mencatat, Desa Orahili Fau lebih tua dibandingkan Desa Bawomataluo. Nenek moyang kedua desa ini, merupakan kakak-adik yang bermarga Fau. Kemiripan kedua desa memiliki peninggalan batu-batu datar (daro-daro) dengan bentuk menyerupai balok dan memiliki hiasan ukiran.
Batu tegak (naitaro) sebagai peringatan bagi seseorang yang meninggal dan juga upacara kenaikan status serta halaman desa yang berselimuti batu-batu lempengan.
Arsitektur rumah tradisional atau oma hada dalam bahasa Nias-nya, telah berusia ratusan tahun, dipertahankan dengan bahan yang terbuat dari kayu disertai pilar-pilar batangan kayu yang cukup kokoh. Sehingga omo hada dapat bertahan dari goncangan gempa yang sedari dulu telah dialami pulau ini.
Kemiripan Budaya Tibet
Desa Orahili Fau juga memiliki tumpukan batu yang biasanya dijadikan arena lompatan dalam atraksi hombo batu (lompat batu). Tumpukan batu memiliki tinggi 2,15 meter, lebih tinggi dari batu yang berada di Desa Bawomataluo.
”Desa kami adalah desa tertua kedua di Pulau Nias setelah Desa Gomo. Nenek moyang kami konon datang dari kaki pegunungan Himalaya. Makanya kami ada kemiripan dengan orang Tibet,” ujar tetua suku di Desa Orahili Fau, Miliar Fau yang memiliki gelar Tuha Ilawa Nia alias King of The King.
Hingga kini anak-anak dan para remaja pria aktif berlatih atraksi lompat batu. Karena atraksi ini merupakan tradisi sakral proses pendewasaan seorang remaja putra. Warga sangat aktif merawat budayanya dengan berlatih tari perang, tari moyo, serta tatanan adat istiadatnya.
Semoga dengan merawat budaya yang ada, dapat merawat masa depan bagi anak cucu kelak.