MAHKAMAH Persekutuan Malaysia membebaskan Ambika, majikan yang menyiksa TKI asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Adelina Lisao pada 2018 lalu.
Keputusan itu pun sangat disesalkan oleh Duta Besar RI di Kuala Lumpur, Hermono, usai menghadiri persidangan di Mahkamah Agung Malaysia (Mahkamah Persekutuan Malaysia) yang digelar Kamis (23/6/2022).
Dalam sidang, majelis hakim menolak permohonan banding jaksa penuntut umum untuk menggugurkan putusan Mahkamah Tinggi sehingga mengesahkan pembebasan majikan Adelina, Ambika MA Shan.
Menurut Hermono, keluarga Adelina dan seluruh rakyat Indonesia sangat kecewa dengan keputusan MA Malaysia tersebut.
“Tak ada yang bertanggung jawab untuk kasus ini. Sangat sulit untuk dipahami, sebab kita tahu betul bahwa Adelina telah meninggal dengan kondisi seluruh tubuh luka terinfeksi dan tak ada yang membawanya ke rumah sakit,” kata Hermono dalam keterangnnya.
Hermono sangat menyayangkan kasus yang sangat serius seperti ini dan menyangkut nyawa manusia tetapi tidak ada yang bertanggung jawab.
“Ini masalah kemanusiaan. Kita harus berpikir dari perspektif keluarga. Bagaimana keluarganya melihat anggotanya meninggal dengan cara yang tragis dan tak ada yang bertanggung jawab. Saya kira ini jadi persoalan,” imbuhnya.
Selain Hermono, Direktur Eksekutif Tenaganita, Glorene A Das, mengaku sangat kecewa usai hasil sidang itu keluar.
Ia menilai keputusan tersebut justru memelihara budaya impunitas bagi pelaku kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Adelina mengalami komplikasi kegagalan sejumlah organ tubuh karena diduga disiksa di tempat ia bekerja di rumah majikannya, Ambika, di Bukit Mertajam.
JBMI Kecam Majikan Adelina Lisao Diputus Bebas
Sementara itu, Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) mengecam keras keputusan Mahkamah Persekutuan Malaysia yang mengesahkan pembebasan majikan Adelina Lisao pada Kamis, 23 Juni 2022. Ambika, majikan Adelina bebas murni dan tidak bisa didakwa pidana atas kematian Adelina.
Keputusan tersebut sangat tidak adil bagi Adelina dan juga PRT migran lainnya yang bekerja di Malaysia. Dengan membebaskan kedua majikan Adelina, maka Pemerintah Malaysia ‘memperbolehkan’ warganya untuk mengeksploitasi dan menyiksa juga membunuh PRT migran. Keputusan ini merupakan ancaman bagi keselamatan ratusan ribu buruh migran di Malaysia.
Keputusan pengadilan Malaysia ini telah menunjukan kegagalan pemerintah Indonesia dalam memberikan keadilan dan melindungi rakyatnya yang terlantar diluar negeri sebagai buruh migran.
JBMI menuntut kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan segala upaya untuk menuntut keadilan bagi Adelina dan memperbaiki pelayanan dan perlindungannya bagi buruh migran di Malaysia dan di semua negara penempatan.
Lebih dari itu, pemerintah harus mewujudkan pembangunan yang mengabdi pada kepentingan mayoritas rakyat sebagai syarat terciptanya lapangan kerja layak didalam negeri dan pengurangan kemiskinan sehingga rakyat miskin tidak harus menjadi buruh migran.***