DPR tengah merencanakan membahas legalisasi ganja untuk kebutuhan medis. Hal ini usai seorang ibu yang memohon restu ganja dilegalkan untuk medis mengobati anaknya yang mengidap Cerebral Palsy.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, telah melakukan komunikasi terkait dengan usulan soal legalisasi ganja untuk medis dengan pimpinan Komisi III DPR RI dan Komisi IX DPR RI.
Ia mengatakan Pimpinan Komisi III siap melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Komisi IX pun akan segera menindaklanjuti usulan mengenai legalisasi ganja untuk kebutuhan medis tersebut.
“Ya kami sudah melakukan juga komunikasi. Pimpinan komisi III sudah siap melakukan RDP dengan para pihak yang berkepentingan begitu juga dengan Komisi IX yang sudah kemudian menyambut baik dan kemudian akan segera juga melakukan tindak lanjut terhadap usulan-usulan ini soal legalisasi ganja untuk medis,” ungkap Sufmi Dasco kepada awak media di Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Rabu (28/6/2022).
Hal ini dilontarkan Sufmi Dacso usai menerima aspirasi dari Santi Warastuti, ibu dari Fika yang mengalami penyakit Cerebral Palsy (CP) yang beberapa lalu viral di sosial media saat Car Free Day (CFD) di Jakarta, karena membutuhkan ganja untuk kebutuhan medis.
Santi menginginkan adanya legalisasi ganja untuk kebutuhan medis, lantaran anaknya membutuhkan terapi minyak biji ganja.
Kedatangan Santi ditemani oleh Singgih, seorang pengacara yang melakukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar ganja untuk kebutuhan medis diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
“Namun yang namanya aspirasi, kan semua harus kita akomodir baik pihak pro maupun kontra,” tegas politisi Partai Gerindra itu.
Menanti Putusan Judicial Review MK, Berharap Ganja Medis Dihalalkan
Di sisi lain, Santi Warastuti mengaku bersyukur telah diterima aspirasinya oleh Pimpinan DPR. Ia memohon dukungan, baik bagi anaknya maupun anak-anak lainnya, yang sama-sama mengidap penyakit CP.
“Ganja ini terutama untuk mengatasi kejangnya. Karena setiap anak CP itu hampir semuanya disertai kejang. Setiap kejang terjadi pasti mengalami kemunduran kondisi klinis,” katanya.
“Dan itu sangat menyakitkan bagi kami karena untuk maju (sembuh) sedikit saja susah sekali karena disertai kejang,” tambah Santi.
Selain itu, Singgih menjelaskan sejauh ini upaya untuk JR ke MK atas UU tersebut belum diketahui. Oleh karena pembahasannya baru dibahas di internal dewan komisi hakim, lalu setelah itu akan dikeluarkan legal opinion.
Setelah para hakim MK tersebut sepakat baru disusun draf keputusan, dan para pihak pemohon JR baru diundang untuk pembacaan hasil putusan.
“Jadi masih lama. Karena hukum acara MK tidak mengatur kapan tiap perkara maksimal diputus. Jadi kita masih menunggu,” ujarnya yang mengaku telah menunggu dua tahun putusan MK sejak gugatan dilayangkan pada November 2020.***